Kamis, 21 April 2011

Bagaimana Posisi Ma’mum Satu Orang? ;Bagaimana Posisi Ma’mum Jika Hanya Seorang Wanita/Istri?; Adakah Tuntunan Shalat Jama’ah Berantai/Bersambung setelah Imam Salam?


TANYA JAWAB SEPUTAR SHALAT
Oleh: H. Syakir Jamaluddin, M.A. (Dosen FAI UMY/ Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Bagaimana Posisi Ma’mum Satu Orang?

Jika ma’mum hanya seorang, maka posisi shafnya berada di sebelah kanan imam. Ketika Ibn ‘Abbas ra sendirian datang berma’mum shalat malam di sebelah kiri Nabi saw, maka Ibn ‘Abbas ditarik oleh Nabi saw untuk diposisikan di sebelah kanan Nabi saw (فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ. Muttafaq ‘alayh).[1] Umumnya riwayat tersebut tidak menyebutkan sejajar, namun ada satu riwayat Ibn 'Abbâs bahwa ketika ia berdiri di belakang, tangannya ditarik oleh Nabi saw dan menjadikannya sejajar/berjajar dengan beliau (حِذَاءَهُ). Lalu Ibn 'Abbas agak mundur sedikit karena merasa tidak layak berjajar dengan Nabi saw, kemudian setelah dikonfirmasi, Nabi pun mendoakannya mudah-mudahan Allah menambahkan ilmu dan pemahaman kepadanya (HSGR. Ahmad, al-Bayhaqi & Hakim).[2] 'Umar juga pernah menarik 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ûd untuk berdiri berjajar di kanannya (HR. Malik, 1/154: 360), demikian pula Ibn 'Umar kepada Nâfi' (HR. Malik, 1/134: 302). Berdasarkan hadis Nabi dan atsar shahabat di atas, maka mayoritas ulama seperti Hanabilah, Malikiyah, dan diikuti mayoritas ulama sekarang: al-Albâni, Ibn ‘Utsaymîn, Bin Bâz, ‘Abdullâh al-Faqîh dan ‘Abdullâh bin Jibrîn berpendapat bahwa posisi ma’mum seorang berada di kanan sejajar dengan imam karena tak satupun dalil yang menuntunkan untuk mundur sedikit. Adapun sebagian Syâfi'iyyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa ma'mum disunnahkan mundur sedikit sekedar untuk membedakan antara imam dengan ma'mum.[3] Meskipun mereka tidak menjelaskan dalilnya, tapi bisa jadi mereka berpendapat demikian karena, pertama: keumuman hadis tentang posisi dasar ma’mum berada di belakang imam, meskipun tetap harus berjajar di sebelah kanan imam. Jika sejajar persis, dikhawatirkan posisi ma’mum yang punya kaki dan telapak kaki lebih panjang dari imam akan memposisikan ma’mum berada di depan imam, dan tentu ini terlarang; Kedua, dalam HR. Ahmad Ibn ‘Abbâs di atas, Nabi saw hanya menanyakan kenapa Ibn 'Abbâs tidak berjajar dengannya, lalu Nabi saw mendoakannya, tanpa melarangnya; Ketiga, jika ma’mum sejajar, maka ma’mum berikutnya yang datang menyusul tidak bisa mengetahui apakah mereka berjamaah ataukah shalat sendiri-sendiri sehingga jamaah masbuq yang datang menyusul tersebut bisa jadi berma’mum pada orang yang sedang berma’mum. Dari sini penulis bisa memahami kenapa sebagian besar jamaah memilih pendapat kedua yakni mundur sedikit sekedar untuk membedakan antara imam dengan ma’mum, tanpa menghilangkan makna berjajar di samping kanan imam, meskipun pendapat pertama memiliki dalil yang lebih kuat dan rinci. Wa-llâhu a‘lam.

Jika datang menyusul ma’mum yang lain maka hendaklah langsung berdiri di belakang imam, jangan di kiri imam, kemudian ma’mum yang sendirian di samping kanan imam tadi, mundur ke belakang untuk menyamakan shaf dengan ma’mum yang lain.[4] Jika tidak mundur, maka hendaklah imam mendorongnya mundur hingga keduanya berjajar di belakang imam.[5] Hal ini karena pada prinsipnya bila ma’mum lebih dari satu orang maka ma`mum berbaris lurus dan rapat di belakang imam di mana posisi imam berada di tengah. Jika datang menyusul ma’mum yang lain lagi maka hendaklah mengisi shaf kanan lebih dahulu, baru kemudian shaf kiri (HR. Abu Dawud & Muslim, dari Jabir ra.) dengan memperhatikan keseimbangan antara kanan dan kiri. Setelah shaf depan penuh, barulah ma’mum lain yang datang kemudian menyusun shaf  baru di belakangnya.
Peringatan:
Jika ma’mum yang datang belakangan hanya sendirian di shaf belakang, maka dilarang menarik ke belakang seorang pun jamaah yang sudah berbaris mapan dengan jamaah lain. Hal ini karena: 1) Pada prinsipnya, shaf depan lebih baik dari pada shaf belakang. Kita disunnahkan menyempurnakan shaf depan lebih dulu, bukan malah menguranginya; 2) Bisa merusak dan mengganggu konsentrasi jamaah karena mesti akan menggeser shaf yang sudah mapan dan sempurna di depan, 3) Hadis yang biasa dijadikan landasan untuk menarik seorang jamaah untuk menemani ma'mum yang sendirian di belakang adalah lemah sekali, bahkan palsu.[6]  Sedangkan hadis yang menyebutkan tidak sah orang shalat di belakang sendirian (HR. Abu Dâwud, Ibn Mâjah) adalah maqbûl, tapi maksudnya adalah shalat sendiri yang terpisah jauh dari jamaah, apalagi tidak bergabung dengan jamaah yang ada.

Bagaimana Posisi Ma’mum Jika Hanya Seorang Wanita/Istri?
Jika ma’mumnya hanya ada seorang wanita saja maka tidak boleh berjama’ah berduaan dengan diimami laki-laki yang bukan mahramnya atau bukan suaminya. Selain karena tidak ada hadis yang maqbûl yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah mengimami seorang perempuan yang bukan istri dan mahramnya,[7] juga karena hal ini sama dengan berkhalwat yang dilarang Nabi saw (Muttafaq ‘alayh). Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi kalau seorang istri –misalnya--, berma’mum pada suaminya sendiri dan tidak ada jamaah lainnya, maka posisinya berada di sebelah kanan suaminya yang menjadi imam dengan dasar posisi ma’mum satu orang adalah di sebelah kanan imam, atau boleh juga di belakangnya dengan dasar shaf perempuan adalah di belakang shaf laki-laki. Pendapat kedua ini dipegangi oleh mayoritas ulama. Yang jelas, jangan di kirinya karena tidak ada satupun dalil yang menuntunkan bahwa posisi ma'mum istri satu orang berada di sebelah kiri suaminya.

Adakah Tuntunan Shalat Jama’ah Berantai/Bersambung setelah Imam Salam?

Jika ada beberapa ma’mum masbûq setelah imam salam, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat salah seorang imam di antara sesama ma’mum masbuq untuk membangun jamaah baru sehingga menjadi jamaah berantai. Menurut ulama Hanafiyyah: tidak sah mengangkat imam untuk menyempurnakan sisa rakaat shalatnya. Malikiyyah juga demikian jika yang masbuq masih mendapat rakaat bersama imam. Namun jika tidak mendapat rakaat, maka boleh mengangkat imam. Adapun Syâfi’iyyah dan Hanâbilah menyatakan boleh mengangkat imam baru untuk menyelesaikan kekurangan rakaatnya, dan boleh juga shalat sendiri-sendiri, asal bukan masbuq dalam shalat Jum’at.[8] Hanya saja, dari berbagai pendapat ulama tersebut, penulis belum menemukan hadis yang secara khusus membicarakan adanya kasus mengangkat imam baru dari sesama ma’mum masbuq. Yang ada hadisnya adalah: وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا : “dan apa yang terlewatkan olehmu, maka tinggal kamu sempurnakan” (Muttafaq ‘alayh), tanpa menyebutkan anjuran untuk menyambung jama’ah lagi. Oleh karena ini termasuk bagian ibadah mahdlah yang aturannya menunggu perintah/tuntunan, maka jika sesama ma’mum masbuq tersebut masih mendapatkan rakaat/ruku’ bersama imam sebelumnya, maka sebaiknya ia menyempurnakan sisa rakaat yang terlewatkan secara sendiri-sendiri tanpa perlu mengangkat imam baru di antara sesama mereka. Tetapi jika ada ma’mum masbuq yang benar-benar terlambat dan sama sekali tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam sebelumnya (penulis menyebutnya: masbuq murni), maka hendaknya tetap mengupayakan berjamaah, baik dengan mengangkat seorang imam dari salah satu jamaah masbuq sebelumnya, ataupun membangun jamaah baru dengan sesama jamaah yang sama sekali tidak mendapatkan jamaah. Hal ini karena Nabi saw ketika telah selesai shalat jamaah bersama para sahabat, beliau melihat ada seorang yang masuk masjid dan tidak lagi mendapatkan jamaah shalat. Mengetahui hal ini, maka Nabi saw menawarkan pada para sahabat yang mau sedekah jamaah pada orang yang ketinggalan jamaah:
مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ ؟ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ.
“Siapa yang mau bersedekah jamaah dengan orang ini? Maka seseorang dari kaumnya berdiri lalu shalat berjamaah dengannya.” (HSR. Ahmad, 3/45: 11428; Abu Dâwud, 1/157: 574; al-Bayhaqi & Ibn Hibbân, dari Abu Sa’îd al-Khudri ra.)

Penawaran untuk melakukan sedekah jama’ah karena mengingat perbedaan derajat pahala jamaah sangat siginifikan (yakni antara 25 s.d 27 derajat) dari pada shalat sendirian. Maka Nabi saw menunjukkan empatinya pada sahabat yang sudah bersusah payah mendatangi jamaah, namun ternyata jamaah shalat sudah selesai, tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi kalau masih menemukan jamaah shalat yang masbuq, maka Nabi saw tidak menawarkan untuk sedekah jamaah sehingga cukup berma’mum pada salah seorang jama’ah tersebut dan berdiri di sebelah kanannya bila ia berma’mum sendirian. 

Bolehkah Berma’mum pada Orang yang Shalat Sunnat?

Sebenarnya boleh berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Ini didasarkan pada riwayat Jâbir ra bahwa:
أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْعِشَاءَ الآخِرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّى بِهِمْ تِلْكَ الصَّلاَةَ
“Sesungguhnya Mu’âdz bin Jabal shalat ‘Isyâ’ yang akhir bersama Nabi saw, kemudian kembali ke kaumnya lalu shalat bersama mereka dengan shalat itu juga.” (HSR. Muslim, 2/42: 1070; al-Tirmidzi, al-Nasâ’i)

Melihat redaksi di atas, tampaknya Mu’âdz kembali ke kaumnya untuk memimpin shalat jamaah di kaumnya setelah shalat berjamaah dengan Rasulullah saw. Itulah sebabnya hadis ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai dalil bolehnya berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Hadis di atas juga mengajarkan kita supaya senantiasa mengupayakan shalat berjamaah, dan --yang penting-- upayakan tidak membangun jamaah baru, apalagi shalat sendirian, bila ada jamaah yang sedang shalat.



                [1] Al-Bukhâri, 1/40: 117, 1/47; Muslim, 2/178: 1824, 2/179: 1827, 2/183: 1841. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa Nabi saw memegang kepala Ibn ‘Abbâs, sebagiannya lagi menyebutkan memegang telinga kanannya lalu ditarik lewat belakang pindah ke sebelah kanannya, dan ada juga yang menyebutkan Nabi saw memegang lengan atasnya lalu memindahkan ke kanannya.
[2] HSGR: Hadis sahih gharîb riwayat Ahmad, 1/330: 3061 & al-Bayhaqi, Syu‘ab., 3/102, melalui Hâtim bin Abi Shaghîrah dari ‘Amr bin Dînâr dari Kurayb (mawlâ Ibn ‘Abbâs, w 98 H) dari Ibn ‘Abbâs. Al-Arnâ’ûth menilai hadis ini sahih sesuai syarat al-Syaykhâni (yakni: al-Bukhari & Muslim), meskipun tidak disepakati keduanya. Memang para periwayat tersebut secara perseorangan digunakan oleh al-Bukhâri & Muslim, namun tidak dengan rangkaian periwayat (sanad) tersebut. Hâtim bin Abi Shaghîrah --meskipun kritikus pada umumnya menilainya kuat--, namun Abu Hâtim al-Râzi memberikan catatan tambahan bahwa hadisnya hanya shâlih/cukup baik (peringkat ta‘dîl ke-6). Al-Hâkim, 3/615: 6279, juga meriwayatkan hadis ini tapi melalui Abi Kurayb dari Ibn ‘Abbâs, padahal ‘Amr bin Dînâr (w. 184 H) mustahil meriwayatkan dari Abu Kurâyb yang wafat 248 H.
[3] Al-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, 3/174; al-Shan‘âni, Subul al-Salâm, 2/31; Muhammad Shâlih al-Munjid, Fatâwâ al-Islâm., 1/1181; Khâlid bin ‘Abd al-Mun‘im al-Rifâ‘i, Fatâwâ Mawqi‘ al-Alûkah, Bab Taqaddum al-Imâm, hlm 1-3, Fatwa no: 2215.
[4] Ketika ‘Abdullah bin ‘Utbah berma’mum di belakang ‘Umar bin al-Khaththâb, maka ‘Umar menariknya ke sebelah kanannya. Tatkala Yarfâ datang, iapun mundur lalu berbaris di belakangnya (فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ. HR. Malik, 1/154: 360). Ada HR. Ahmad (3/326: 14536) & Ibn Khuzaymah (3/18: 1535) dari Jâbir yang berbunyi: فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ : “Lalu kami pun berbaris di belakangnya”, namun sanad hadis ini daif karena melalui Syurahbîl bin Sa‘ad.  
[5] Jâbir ra menceritakan bahwa ia pernah berma’mum pada Rasulullah saw sendirian dan berdiri di sebelah kiri beliau. Saat itu Rasulullah saw menariknya pindah ke sebelah kanan beliau. Lalu datang Jabbâr bin Shakhr berdiri di kiri beliau, فَأَخَذَ رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتىَّ أَقَامَنَا خَلْفَهُ : “maka Rasulullah saw memegang tangan kami lalu mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau.” (HSR. Muslim, 8/232: 7705; Abu Dâwud, al-Hâkim dan al-Bayhaqi). Ada HR. Ibn Khuzaymah (3/18: 1536) dan al-Thabrâni (al-Awsath, 8/375: 8918), dari Jâbir bahwa ketika Jabbâr datang menyusul dan berdiri di kiri Rasulullah saw, فَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : maka Rasulullah saw maju”. Hanya saja kedua riwayat ini bermasalah, yakni Ibn Khuzaymah karena melalui Sa‘îd bin Abi Hilâl yang mukhtalith (kacau hapalannya), sedangkan al-Thabrâni karena melalui Ibn Lahî‘ah yang juga kacau hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar.
                [6] Hadis daif dan mawdlû‘ riwayat al-Thabrâni, al-Mu‘jam al-Awsath, juz 7 hlm 374, no: 7764:   إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فَلْيَجْذِبْ (فَلْيَجْبِذْ) إِلَيْهِ رَجُلاً يُقِيْمُهُ إلَى جِنْبِهِ: “Apabila salah seorang terhenti untuk masuk shaf (depan) karena telah penuh, maka hendaklah menarik seorang pada shaf tersebut (ke belakang) untuk berdiri di sampingnya.” Hadis ini sangat lemah, termasuk hadis munkar karena ada periwayat Bisyr bin Ibrâhim al-Anshâri si pendusta dan pemalsu hadis. (Lihat al-Haytsami, Majma‘.,2/259: 2537) Lebih rinci tentang Bisyr bin Ibrâhîm, lihat Ibn al-Jawzi, al-Mawdlu‘ât, juz 2/266 dan juz 3/124; Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., 2/351; Mahmûd Zâyid, al-Majrûhîn Ibn Hibbân, 1/189; Ibn ‘Addi, al-Kâmil fi al-Dlu‘fâ’, 2/13-14; al-‘Uqayli, al-Dlu‘afâ’., 1/142; Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, 2/18-20. 
[7] Ada hadis yang menceritakan bahwa: كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءُ مِنْ أَحْسَنِ النَّاس...: ”Pernah ada seorang perempuan paling cantik shalat di belakang Nabi saw...” (HR. Al-Tirmidzi, 5/296: 3122; al-Nasâ’i, 2/118: 870; Ibn Mâjah, 2/161: 1046; Ibn Hibbân, 2/126: 401; Ahmad, 1/305: 2784 dengan lafal: امْرَأَةٌ حَسْنَاءُ). Tetapi karena melalui ’Amr bin Mâlik al-Nukrâ (w. 129 H) yang daif hafalannya & banyak kesalahannya, hadisnya sangat asing/gharîb dan munkar karena melecehkan sahabat yang mengintip wanita cantik tersebut dari bawah ketiaknya saat ruku’ maka hadis ini ditolak sebagai hujjah. Demikian penilaian Ibn ’Addi, Abu Ya’la & Ibn Katsîr. (Ibn ’Addi, al-Kâmil fi al-Dlu’afâ’, 5/150; al-Dzahabi, Mîzân, 3/285: 6435; ). Tapi anehnya, al-Albâni menilainya sahih, sedangkan al-Arna’ûth --meskipun awalnya menilainya hasan dalam Shahîh Ibn Hibbân-- namun akhirnya meralatnya menjadi daif dalam Musnad Ahmad yang ditahqiqnya (Lihat Musnad Ahmad, penerbit: al-Risâlah, juz 5/5: 2785).
[8] Lihat al-Jazayri, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 1/656.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar