Salah satu aktivitas
yang menentukan dan menyita banyak waktu dalam kehidupan manusia adalah
kegiatan makan dan minum. Hal ini wajar sebab kebutuhan pangan merupakan
kebutuhan primer manusia, di samping kebutuhan sandang dan papan. Dengan
mengonsumsi makanan dan minuman, kebutuhan jasmani dapat dipenuhi. Dengannya,
tubuh kita menjadi sehat, kuat dan bertenaga sehingga dapat menjalankan
aktivitas sehari-hari dengan baik.
Namun demikian, orang
sering tidak sadar dengan hal-hal yang perlu diperhatikan terkait makanan dan
minuman ini. Banyak sekali orang yang tidak memiliki spiritual awareness
(kesadaran spiritual). Umumnya mereka menganggap makan dan minum adalah urusan
dunia ansich yang tidak ada kaitannya dengan agama. Ada juga yang tidak
peduli dengan sesuatu yang dimakannya baik dari sisi zatnya maupun dari sisi
cara memperolehnya. Padahal, dalam urusan makan dan minum ini, Islam menaruh
perhatian yang cukup serius.
Dalam Surah Quraisy
ayat 3-4 diterangkan bahwa Allah menjadikan kecukupan kebutuhan pangan sebagai
salah satu sebab utama kenyamanan dalam beribadah. Di samping itu, makanan dan
minuman yang dikonsumsi akan secara langsung mempengaruhi tubuh baik secara
fisik maupun psikis. Hadis Nabi SAW menjelaskan hal ini, seperti yang
diriwayatkan sahabat Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Perut adalah telaga
bagi raga. Pembuluh-pembuluh darah berujung padanya. Jika perut sehat,
pembuluh-pembuluh itu akan sehat. Sebaliknya, jika perut sakit, pembuluh darah
pun akan ikut sakit.” (HR Thabrani).
Berkenaan dengan
persoalan ini, Imam al-Ghazali mengumpamakan urusan makanan dalam agama, ibarat
fondasi pada sebuah bangunan. Menurutnya, jika fondasi itu kuat dan kokoh, maka
bangunan itu pun akan berdiri tegak dan kokoh. Demikian sebaliknya, apabila
pondasi itu lemah dan rapuh, niscaya bangunan itu pun akan ambruk dan runtuh.
Al-Ghazali lalu mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Thabrani:
“Perbaikilah makananmu, niscaya Allah akan mengabulkan doamu.”
Oleh karena itu, dalam
ajaran Islam, kita hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan atau minuman yang
jelas halal lagi baik (thayyib). Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik (halalan thayyiban) dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168).
Berdasarkan landasan
teologis di atas, dapat kita fahami bahwa Islam sangat memperhatikan urusan
makan dan minum. Islam menganjurkan kepada kita supaya ketika mengonsumsi
makanan atau minuman, mesti memperhatikan apa yang kita makan dan minum baik
dari sisi zatnya maupun cara memperolehnya. Dalam hal ini, harus halal dan juga
baik (thayyib). Lalu, seperti apakah konsep halâl dan thayyib dalam Islam?
Pengertian halal
Dalam kitab Mu’jam
Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa
kata halal, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan
wa halalan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan,
memecahkan, membebaskan dan membolehkan. Sedangkan secara terminologi, kata halal
mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau segala sesuatu yang
bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Al-Jurjani dalam kitab
at-Ta’rifat menjelaskan bahwa pada dasarnya, kata halal merujuk
kepada dua arti. Pertama, kebolehan menggunakan benda-benda atau apa
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani seperti makanan, minuman dan
obat-obatan. Kedua, kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum dan
mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan ketetapan nash.
Dalam al-Qur’an, kata halal
disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti masalah muamalah,
kekeluargaan, perkawinan dan terkait dengan masalah makanan ataupun rezeki.
Namun demikian, kata halal tersebut lebih banyak digunakan dalam
menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki. Keterangan tersebut antara
lain kita dapati dalam Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 4-5, 87-88, dan
96, Surah an-Nisa: 160, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 69, Surah an-Nahl:
114, Surah at-Tahrim: 1, dan Surah al-Hajj: 30.
Pengertian thayyib (baik)
Kata thayyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang
benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari
derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka
wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza
(enak), dan halal (halal).
Menurut al-Isfahani,
pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan
jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan
Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud
dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak
manusia. Menurutnya, lawan dari kata thayyib ini adalah khabits (bentuk
jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak fisik,
psikis, akal dan akhlak seseorang.
Dalam al-Qur’an, kata thayyib
ini disebutkan beberapa kali dalam bentuk yang berbeda. Terkait dengan makanan,
al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan
dalam bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali
untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam
Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 88, Surah al-Anfal: 69, dan Surah
an-Nahl: 114.
Sedangkan yang tidak
ada kaitannya dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyibah dalam
bentuk mufrad muannats (perempuan tunggal) pada sembilan tempat, yaitu
pada Surah Aal Imran: 38, Surah at-Taubah: 72, Surah Yunus: 22, Surah Ibrahim:
24 (dalam ayat ini disebut dua kali), Surah an-Nahl: 97, Surah an-Nur: 61, Surah
Saba: 15, dan Surah ash-Shaff: 12. Dan sebanyak dua kali dalam bentuk mufrad
mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan Surah al-Maidah: 6.
Di samping itu, dalam
bentuk jamaknya (thayyibat), kata ini disebutkan sebanyak sepuluh kali
dengan merujuk pada empat pengertian yaitu; sifat makanan, sifat usaha atau
rezeki, sifat perhiasan dan sifat perempuan. Seperti yang terdapat pada Surah
al-Maidah: 4-5, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 26, Surah Yunus: 93, Surah
an-Nahl: 72, Surah al-Isra: 70, Surah al-Mu’minun: 51, Surah Ghafir: 64 dan
Surah al-Jatsiyah: 16.
Hidangan yang halal dan thayyib
Untuk memenuhi
kebutuhan primer hamba-Nya, Allah SWT dengan kasih sayang-Nya menganugerahkan
bumi beserta isinya untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh
manusia. Kendati demikian, bukan berarti kita dapat memanfaatkan bumi beserta
isinya itu dengan mengeksploitasi sebebas-bebasnya. Namun harus sesuai dengan
apa yang digariskan syariat. Terkait dalam hal makanan dan minuman, tidak semua
yang di bumi ini, baik binatang, tumbuhan maupun benda-benda lainnya itu halal
dan baik (thayyib) bagi manusia. Ada yang memang dibolehkan (halal) dan
ada yang dilarang (haram). Ada yang baik (thayyib), ada pula yang
tidak baik (khabits).
Dalam al-Qur’an
dijelaskan bahwa halal dan thayyib ini merupakan syarat mutlak yang
tidak bisa ditawar oleh manusia dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Dalam
Islam, ketetapan tentang haram dan halal segala sesuatu, termasuk urusan
makanan, adalah hak absolut Allah dan Rasul-Nya. Seperti yang telah disinggung
di atas bahwa persyaratan halal ini terkait dengan standar syariat yang
melegislasinya, dalam arti boleh secara hukum. Adapun thayyib berkenaan
dengan standar kelayakan, kebersihan dan efek fungsional bagi manusia. Maka,
bisa jadi suatu makanan itu halal tapi tidak thayyib atau sebaliknya.
Maka bila dua syarat ini tidak terpenuhi dalam suatu makanan atau minuman,
semestinya ia tidak boleh dikonsumsi.
Sebagai contoh, bila
di hadapan kita terhidang sepiring gule kambing yang begitu menggoda baik dari
sisi rasa, tampilan, dan baunya, namun ternyata kambing itu tidak disembelih
secara islami, ataupun kambingnya hasil curian, maka gule kambing tersebut
tidak halal dan kita tidak boleh menyantapnya. Tegasnya, Allah SWT hanya
menyuruh kepada kita makan dan minum dari sesuatu yang betul-betul halal dan thayyib.
Dari uraian singkat di
atas, dapat kita simpulkan bahwa aktivitas makan dan minum bukan hanya urusan
duniawi semata. Akan tetapi ia sangat terkait dengan urusan agama. Islam menaruh
perhatian yang sangat besar padanya. Secara tegas Islam menyuruh kita untuk
memperhatikan apa yang kita makan dan dari mana kita mendapatkannya. Kita pun
disuruh memakan dan meminum sesuatu yang benar-benar halal dan thayyib
dan menghindari yang buruk (khabaits).
Demikian pula dengan salah satu doa yang biasa
dipanjatkan seorang Muslim dalam kesehariannya, “Allahumma inna nas’aluka
rizqan wasi’an halalan thayyiban mubarakan,” ya Allah, sesungguhnya kami
memohon kepada-Mu rezeki yang luas, halal lagi thayyib serta penuh
berkah. Wallahu a`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar