Banyak orang yang berpendidikan dan ber IQ tinggi pula, tetapi tidak bermoral, terbukti banyak kasus tawuran pelajar yang menggambarkan degradasi nilai. itulah realita pendidikan di indonesia sekarang, tidak hanya kalangan terpelajar bahkan hal itu meluas sampai pada khalayak umum.
Tawuran menunjukkan lemahnya
kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk
ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius
ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan
imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi
dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak
pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring
community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!
Tanggung jawab minim
Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi
bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab
pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang,
di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan
pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar
sekolah.
Mengapa terjadi terus-menerus?
Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang
memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak
bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup
sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini
mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter
siswa.
Pendekatan ritual, yang menekankan
pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak
akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup
hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang
dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa
tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu
sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak
setiap saat.
Kultur sekolah lemah
Selain unsur kepemimpinan, pendidikan
karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga
pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu,
prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar
dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan
selamat saat berangkat atau pulang sekolah.
Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila
setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai,
dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan
pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke
seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud
yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem
katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap
kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik,
tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka
dikatrol sehingga nilainya juga baik.
Kultur sekolah ini sesungguhnya
bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu
telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui
sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa
pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau
kenaikan kelas 100 persen.
Menghargai individu sesuai dengan harkat
dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam
belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang
terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan
semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika
kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran
dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.
Ketidakhadiran negara
Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas
bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi
kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan
bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.
Ketika aparat kepolisian hanya diam saja
berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu
runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian
menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang efektif
mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan
strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta
komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat
pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan.
Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk
menaati ketertiban dan hukum.
Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.
Pertama, kehadiran negara sangat
diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran
pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu
membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan
sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap
reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan,
tetapi sikap preventif- edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah
lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.
Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah
juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu
di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya
selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka
terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati
mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun
bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai
usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.
Peran komunitas sekolah
Ketiga, pendidikan karakter akan efektif
kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai
dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru,
karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus
mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan
pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.
Perilaku kekerasan terhadap fisik orang
lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi
yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap
individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.
Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi
dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa
pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di
lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap
tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan
pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar