PENDAHULUAN
Kurikulum
merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa
kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran
pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah
beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah
tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna
mencapai hasil yang maksimal.
Perubahan
kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut
perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum
untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan
perubahan.
Perubahan
kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena
ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut
juga dinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga
pengaruh dari luar, dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri
sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya
berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah
tapi diiringi juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di
Indonesia yang harus mengikuti perubahan tersebut, karena kurikulum itu
bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat statis maka itulah yang
merupakan kurikulum yang tidak baik.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis akan membahas permasalahan yang dihadapi
dalam mencari alternatif jawaban ataupun solusi bijak yang bisa dipecahkan
bersama sehingga dapat terwujud pemahaman mengenai perubahan kurikulum. Untuk
menganalisa masalah diatas penulis mengkemasnya dengan judul Analisis Kritis
Perubahan Kurikulum Pendidikan di Indonesia.
- A. Esensi Perubahan Kurikulum
Dalam
perspektif soetopo dan soemanto pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk
dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan
bila terdapat adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara
dua periode tertentu, yang disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja,
tentunya menuju movement yang lebih baik.
Berbeda
dengan ungkapan nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-alat
atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering berarti
turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka yang
mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan
sosial, suatu social change. Perubahan kurikulum juga disebut devolupment
(pembaharuan) atau inovasi kurikulum.
Mengenai
makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita
dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang
sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses
pembelajaran. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang
diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya
saling berinteaksi. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup
dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya
kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan
murid didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan
sepenuhnya betapapun rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas
selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan
sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang
kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan
jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang
tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya
dengan kepribadian guru.
Kurikulum
yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada
kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan
segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah,
tempat bermain, karya wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai
seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang
luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut
banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang
terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah
juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan
sekolah. Seperti yang telah penulis paprkn di atas, bahwa perubahan kurikulum
adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.
- Jenis-Jenis Perubahan
Menurut
Soetopo dan Soemanto, Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian,
tapi dapat pula bersifat menyeluruh.
- Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan
yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut
perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja,
perubahan dalam itu saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah
merupakan contoh dari perubahan sebagian-sebagian.
Dalam
perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung
pada komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang
lain. Sebagai contoh, penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu
kurikulum dapat saja terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode)
mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum tersebut.
- Perubahan menyeluruh
Disamping
secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara
menyeluruh . Artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami
perubahan mana tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi
dan pelaksanaannya.
Perubahan
dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan
kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum
sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat
menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya, pengembangan , tujuan, isi,
organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari
kurikulum sebelumnya.
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum
Menurut
Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya
perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.
Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu
di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara
tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu
sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional
merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup
penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya
teori-teori yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi,
komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara
baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan
sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan
kurikulum.
Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari
penduduk dunia. Dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah
orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau
pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali
dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang
semakin besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak
mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.
- Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah
Kurikulum
itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam
faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara
fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara
yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang
menyeluruh.
Kurikulum
juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun
30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada
anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum
sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap
terlalu bersifat adulatif (pembujukan) dan society-centered.. Pada tahun
40-an, sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum
menjadi lebih society-centered.
Kurikulum
dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses
belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience
curriculum, programmed instruction, pengajaran modul, dan
sebagainya.
Perubahan
dalam masyarakat, eksplosi (ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain
mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan
kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan
senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu
saat.
- Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum
Sejarah
menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru
tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara
umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu
pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk golongan itu
juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada
kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan
pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang
suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula
kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk
mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya
diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan
kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan
meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya itu. Dalam
pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah”
daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai
percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab
harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur
organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Disadari
atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang lebih banyak
untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat
dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin
berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang
baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan
kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar
mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
- B. Ironi Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Polemik yang
telah pamakalah paparkan di atas mengenai perubahan kurikulum yang ada di
Indonesia, dari mulai pergantiannya hingga pelaksanaan kurikulum yang baru.
Penulis dapat menarik satu benang merah bahwa kurikulum dalam pengertian
termenologi yang berasal dari bahasa Yunani “Curriculum” dan “Curere”
dalam bahasa latin adalah seperangkat mata pelajaran yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang
akan diberikan kepada peserta pelajar/sisa dalam satu periode jenjang
pendidikan.
Sementara
itu, yang pesimistis dengan kurikulum mutahir mengolok-olok KTSP sebagai
(K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu premature (sebelum
waktunya). Sumber kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada
guru sendiri. Seberapa banyak guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan
zaman yang disyaratkan KTSP? Bukankah pendidikan keguruan di negeri ini memang
tidak membekali guru sebagai penyusun kurikulum? Selain persoalan guru,
prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan menjadi kendala
yang serius. Kita khawatir kurikulum baru ini pun akan sama nasibnya dengan
kurikulum-kurikulum lainnya.
Tak dapat
dipungkiri, pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk
kemajuan bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang
diberikan dalam sekolah, disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman
sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di
Indonesia dalam materi pelajaran. Dengan begitu banyak poin penting yang diatur
dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangatlah krusial untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, di
saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa
berubah secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa
setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum
juga akan diubah. Kalau penulis istilahkan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Mungkin hanya ada perubahan sedikit didalamnya, namun dengan adanya menteri
baru inginnya melakukan perubahan, sayang sekali yang dirubah hanya nama,
tidak lebih dari sekedar formalitas. Apakah sering berganti-ganti
kurikulum itu baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih
efektif dan cocok dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila
kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang
terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi (kesalahpahaman). Bila hal itu
terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek
Mendiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”.
Hal ini
sangat ironi dalam dunia pendidikan Indonesia, jika hal ini diteruskan lambat
laun banyak penyelenggara pendidikan non-pemerintah yang bersaing dengan
sekolah naungan pemerintah atau negeri. Kadang kala kita jumpai bahwa kurikulum
yang diberikan sekolah swasta cenderung lebih baik ketimbang kurikulum dari
pemerintah. Keplin-planan pemerintah mengonta ganti kurikulum pendidikan
sebenarnya tidak masalah, yang dipermasalahkan hanya kualitas kurikulum
tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas pembelajaran ataukah hanya akan
membuat kebingungan para siswa karena selalu berubah-ubah tiap tahunnya.
Pemakalah berharap semoga pemerintah lebih jeli lagi dalam mengganti kurikulum
yang sesuai kondisi riil masyarakat, jadi tidak ada anggapan lagi “ganti
menteri ganti kurikulum”.
- C. Analisis Perubahan Kurikulum Dari 1947 – 2006
Seperti yang
telah paparkan sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan
“Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan
yang merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di atas, ”Biasa, ganti Menteri
Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?
Penulis
menganalisa secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun
1947, tahun1952, tahun1964, tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan
tahun2004, serta yang terbaru adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut
merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun
yang jelas, perkembangan semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan
landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan perbedaannya
terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
mengimplementasikannya.
Dimulai pada
tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah
digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat
itu) merupakan pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena
suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut
kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism (pelaku
pembaharuan) lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Pada tahun
1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan
sebutan Rentjana Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang
tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang
hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Dari
Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968, dalam hal ini
terjadi perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai
pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini
menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI),
mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan
dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi
tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan
latihan (drill).
Menjelang
tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk
segera ada perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan
pergantian kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984.
Kurikulum
1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat
terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu,
sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan
adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Pada tahun
1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada
pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang kurang
memperhatikan muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah
kurikulum1994.
Ciri-ciri
yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah
lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan
strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik,
dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang
mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam
pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok
bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat
keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan
pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Selama
dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai
akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content
oriented), di antaranya adalah beban belajar siswa terlalu berat karena
banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata
pelajaran. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan
kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya
Suplemen Kurikulum 1994.
Usaha
pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus
menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan
proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga perubahan
struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal tersebut
terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.
Kurikukum
yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan
standard performan yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat
kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu
KBK sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan
dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di
sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi
merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan
dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara
konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi
kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
untuk melakukan sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi
dalam kurikulum adalah sebagai berikut :
- Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
- Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
- Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
- Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
KBK
berorientasi pada:
- Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
- Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
KBK memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
- Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
- Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
- Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
- Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.
- Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
- Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
- Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
- Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
Yang paling
mutahir adalah KTSP, Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan terjadi
seperti diuraikan di atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi
KTSP dan potensi dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik
pendidikan di lapangan. Sikap kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang
perlu dikembangkan, tetapi harus disertai dengan sikap keterbukaan (open
mindedness) dan keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan tersebut. Agar
kesetimbangan penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup
komprehensif, dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan
potensi resiko yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut
tidak dipahami secara benar.
Ada beberapa
hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan
Pemerintah tentang KTSP tersebut :
1)
Secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi
pendidikan yang sebenarnya. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan
pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan
kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah
orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
2)
Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang
mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi
dirinya. Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah.
Misalnya, saat pemerintah pusat tercengang dengan minimnya pergulatan
kreativitas sekolah, dikumandangkanlah paradigma otonomi pendidikan melalui
manajemen berbasis sekolah. Kenyataannya, institusi prasyarat manajemen
berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan komite sekolah hanya hiasan
struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak berdaya karena
ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia sistem
manajemen pendidikan tak sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya
kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum.
3)
Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan
guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus
mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan
materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar
tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan
kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini
sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan
konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan
dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan.
Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah
istilah on-line learning.
4)
KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional,
dan internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber
daya yang memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan
secara instan melalui berbagai program pendampingan pengembangan kurikulum.
Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya
akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil kreativitas.
Sekedar
untuk digaris bawahi bahwa secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada,
yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan
pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat
perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi
sebelumnya, bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai
karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada
standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur
dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan
silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajarannya.
PENUTUP
- A. Kesimpulan dan Saran
Dari kajian
di atas dapat ditarik satu benang merah bahwa kebijakan perubahan kurikulum
merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar
mempunyai daya saing dengan negara maju di era global, tentunya menuju
perubahan yang lebih baik, inovatif. Bukan hanya sekedar formalitas sehingga
orientasinya tidak pada “ganti menteri ganti pula kurikulum. Salah satunya
menerapkan Standar Nasional Pendidikan dan Badan Nasional Standar Pendidikan
sebagai acuan dasar pelaksanaan Pendidikan di Indonesia. Walaupun dalam
perjalananya, Kebijakan perubahan kurikulum (sebut saja yang paling mutahir
KTSP) mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual, muatan kurikulum
maupun sistem pembelajaran. Alih-alih mereformasi, sekadar kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya masih tetap
sentralistik.
Berarti
secara substansial nuansa reformasi kurikulum harus mampu memaknai otonomi
pendidikan yang sebenarnya. Reformasi pendidikan setengah hati akan
membingungkan para pelaku pendidikan yang sebenarnya. Persoalan yang sering
kita temui di lapangan jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang
sudah ada sulitnya bukan main. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya kongkrit
untuk mengiringi suksesnya penyempurnaan kurikulum ini.
Langkah
perbaikan itu ibarat pepetah tiada rotan akarpun berguna, maka pemerintah
sebaiknya melakukan berbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan
pelbagai unsur/Stakholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian lebih
mendalam sebelum kebijakan tersebut bergulir.